Pengajar Tasawuf Dari Aceh
(Dari Islamisasi ke Organisasi)
BERBICARA masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tasawuf. Tasawuf merupakan corak awal dari ajaran Islam yang masuk ke Nusantara. Tidak berlebihan jika Alwi Shihab dalam bukunya, Akar Tasawuf Nusantara mengatakan Islam Indonesia adalah Islam Tasawuf.
Aceh sebagai gerbang masuknya Islam ke Nusantara juga tidak dapat dipisahkan dari tasawuf. Proses islamisasi yang terjadi pada abad ke-12 sampai abad ke-18 bercorak tasawuf. Tulisan ini hadir dengan maksud melihat perkembangan tasawuf di Aceh; mulai dari islamisasi hingga ke organisasi.
Dari falsafi ke akhlakiMasuknya Islam ke Aceh tidak bisa dilepaskan dari ajaran tasawuf, terutama ajaran tasawuf yang bersifat falsafi. Tokoh-tokoh tasawuf awal merupakan pendukung tasawuf falsafi. Mulai dari Hamzah al-Fansuri (1590) sampai Syamsuddin al-Sumatrani (1670) merupakan dua tokoh yang mewakili pandangan wujudiyah (panteisme).
Pemahaman wujudiyah al-Fansuri dan al-Sumatrani bersumber dari ajaran wujudiyah Ibn ‘Arabi dalam kitab Futuhat al-Makkiyah dan Fushuh al-Hikam. Meskipun dalam kedua kitab tersebut tidak pernah disebutkan istilah wujudiyah, wahdatul wujud atau hulul wa al-ittihad. Namun dalam kedua kitab tersebut dapat ditemukan pernyataan-pernyataan Ibn ‘Arabi yang mengarah kepada pemahaman tersebut. Seperti sebuah bait syair yang berbunyi, Kunna hurufan ‘aliyatin lam nuqal. Muta‘alliqatin fi dzura a‘la al-qulal. Ana anta fihi wa nahnu anta wa anta huwa wa al-kullu fi huwa huwa fasal ‘amman washal (kami huruf-huruf mulia namun tak terucapkan. Tersembunyi di puncak tertinggi dari bukit-bukit. Aku adalah engkau dalam Dia dan kami adalah engkau, dan engkau adalah Dia. Dan semuanya adalah Dia dalam Dia. Tanyalah mereka yang telah sampai).
Paham wujudiyah Ibn ‘Arabi ini mengalami perkembangan pesat di Aceh melalui al-Sumatrani yang ditengarai sebagai orang pertama yang menerjemahkan konsep Martabat Tujuh ke dalam bahasa Melayu. Martabat Tujuh sendiri merupakan satu paham wujudiyah yang dipopularkan oleh al-Burhanpuri (1620) dalam kitabnya al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi.
Martabat Tujuh mengajarkan bahwa wujud itu hanya satu dan wujud yang satu itu adalah wujud al-haqq (Allah). Tetapi kemudian satu wujud ini memiliki banyak manifestasi yang mengambil bentuk dalam tujuh tingkatan (martabat). Ketujuh martabat tersebut adalah ahadiyah, wahdah, wahidiyah, arwah, mitsal, ajsam, dan insan.
Ajaran Martabat Tujuh-nya al-Bunhapuri ini mendapatkan serangan keras dari Nuruddin al-Raniry (1685). Untuk tujuan ini, Ar-Raniry menulis sebuah kitab yang berjudul Fath al-Mubin ‘ala al-Mulhidin. Para ahli menduga polemik inilah yang menyebabkan Ar-Raniry meninggalkan Aceh pada 1644, dikarenakan pandangannya tersebut tidak mendapatkan sambutan yang luas dari masyarakat dan penguasa saat itu.
Polemik Ar-Raniry dengan kaum wujudiyah ini berhasil dinetralkan oleh Abdurrauf al-Singkili (1693). Al-Singkili saat itu meminta kepada Ibrahim al-Kurani, seorang gurunya di Mekkah untuk menulis satu kitab yang berisi tanggapan terhadap ajaran Martabat Tujuh yang diserang Ar-Raniry.
Menanggapi permintaan tersebut, al-Kurani menulis sebuah risalah yang berjudul Ithaf al-Zaki bi Syarh al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Di dalam risalah ini, al-Kurani berusaha menetralisir pemahaman panteisme yang terdapat dalam kitab al-Tuhfah al-Mursalah dengan mengintrodusir penafsiran ortodoks ke dalam ajaran panteisme.
Cara itu kemudian juga digunakan oleh al-Singkili untuk menyinerjikan aspek mistisme Islam dengan syariat, seperti yang terlihat di dalam karyanya Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qa’ilin bi Wahdah al-Wujud dan Daqa‘iq al-Huruf. Di tangan al-Singkili-lah pemikiran tasawuf Aceh bergeser dari aliran tasawuf falsafi menjadi tasawuf akhlaki. Sejak saat itu, tasawuf akhlaki mulai menjadi arus utama (mainstream) tasawuf Aceh.
Perbedaan pemikiran tasawuf pada generasi awal tidak menyebabkan mereka berbeda dalam praktik mengamalkan ajaran tasawuf. Dalam praktinya, mereka tetap merujuk kepada amalan tarikat. Beberapa bagian syair-syair al-Fansuri menyiratkan bahwa dia berafiliasi dengan tarikat Qadiriyah dan bahkan penah menjadi seorang khalifah dari tarikat tersebut. Al-Sumatrani merupakan pengikut tarikat Syattariyah. Ar-Raniry sendiri mengamalkan tarikat Rifa’iyyah. Sedangkan al-Singkili mengajarkan zikir dan wirid dalam tarikat Syattariyah.
Mengalami pergeseranPengamalan ajaran tasawuf dengan tarikat tertentu tersebut mengalami pergeseran dalam beberapa dasarwarsa terakhir. Tarikat-tarikat tasawuf tersebut mulai mengambil bentuk dalam organisasi-organisasi tasawuf.
Organisasi-organisasi tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga kategori besar: Pertama, organisasi majelis zikir, seperti Majelis Zikir Zawin Nabi, Majelis Zikir Aceh, dan Majelis Zikir Ar-Rahmah. Kedua, organisasi majelis pengajian seperti majelis TASTAFI (tasawuf, tauhid, dan fikih). Dan, ketiga, organisasi yang berbentuk majelis zikir sekaligus majelis pengajian, seperti Majelis Pengajian Tauhid Tasawuf (MPTT) yang juga memiliki majelis zikir yang dikenal dengan Rateb Seuribe.
Pergeseran pola praktik ajaran tasawuf ini merupakan cara tasawuf beradaptasi dalam menghadapi tantangan dan perkembangan zaman, sehingga ia tetap diterima luas dalam masyarakat urban sekarang ini. Prediksi sebagian ahli yang mengatakan, praktik tasawuf akan sirna dengan sendirinya pada abad modern ini tidak terbukti. Kegersangan spiritual yang dialami masyarakat urban terobati dalam oase zikir dan pengajian tasawuf yang dilakukan organisasi-organisasi tersebut. Pada tahap berikutnya, organisasi-organisasi tasawuf tersebut mengerucut kepada dua kelompok besar Tastafi dan MPTT.
Dua kelompok ini tidak hanya berbeda dalam alur organisasi, namun juga berbeda dalam aliran pemikiran dan wilayah yang menjadi basis pengikut. Tastafi lebih pada majelis pengajian, sedangkan MPTT dengan Rateb Seuribe-nya lebih berorientasi kepada majelis zikir. Pemikiran Tastafi bercorak tasawuf akhlaki, sedangkan MPTT lebih berafiliasi kepada tasawuf falsafi.
Tastafi memiliki basis masa pengikut terbesar di wilayah pantai Utara dan Timur Aceh, sedangkan MPTT basis masa mayoritasnya tersebar sepanjang pantai Barat dan Selatan Aceh. Jika dua kelompok besar ini bisa bersinergi dalam mendakwahkan ajaran tasawuf, bukanlah suatu mustahil kalau kerak peradaban Islam akan kembali bersemi di Aceh. Semoga!
* Dr. Mizaj Iskandar, Lc., LL.M., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, dan Wakil Ketua Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh. Email: [email protected]
DI AWAL abad 20 Aceh memiliki beberapa ulama besar kharismatik, di antaranya Teungku Haji Muda Waly al-Khalidy, di Aceh Selatan Provinsi Aceh.
Nama Muda Waly sangat harum di dayah-dayah Aceh, kepribadiannya hampir tak ada cacat di dayah, bahkan ada semacam anggapan bahwa Muda Waly adalah ulama yang berpangkat Waliyullah.
Mengapa? Sebab Muda Waly adalah "Gure" (guru) para ulama yang mengasuh dayah yang ada sekarang di Aceh dan wilayah Sumatera.
Selain itu, Muda Waly juga merupakan Syaikh tarekat Naqsabandiyah di Aceh mana pengikut-pengikutnya tersebar di seluruh Nusantara. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa
dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak”.
Secara yuridis, pelaksaan syariat Islam telah diatur di dalam Undang-Undang, apabila ketiga pondasi Islam itu teraplikasikan secara integral dalam pelaksanaanya, maka itu baru dinamakan pelaksanaan syariat secara kaffah.
Yang menjadi pertanyaan sudahkan pelaksanaan Syariat Islam itu dilakukan secarah kaffah, jawabannya belum, syariat Islam yang dilaksanakan hanya masih sebatas permasalaan syar’iyah menyangkup permasalahan fikih, ushul fikih maupun ushuluddin.
Sedangkan permasalahan dibidang akhlak terutama tasawuf atau kesufian belum diaplikasikan dalam praktek penerapannya.
Penggunaan ajaran tasawuf sebagai salah satu media proses penyebaran dan penyiaran agama Islam.
Tasawuf atau yang dikenal juga sebagai sufisme merupakan suatu ajaran tentang bagaimana menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, serta membangun dhahir dan batin untuk dapat memperoleh kebahagian abadi.
Sejarah, madzhab, dan inti ajarannya memiliki sejumlah versi berbeda dalam mengartikan apa itu sufi atau tasawuf.
Tasawuf kemudian memiliki arti yang satu yaitu upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan serta menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi.
Masih dalam sumber yang sama, tasawuf sendiri dapat diartikan sebagai metode untuk mencapai kedekatan serta penyatuan antara hamba dan Tuhan serta mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki (ma’rifat) serta inti rasa agama.
Tasawuf islami mempunyai pengertian membersihkan diri (takhali) dari sesuatu yang hina, dan menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dekat dengan Allah atau sampai pada maqam yang tinggi.
Pengertian ini dapat dirangkum kembali dalam satu kata, yaitu taqwa pada kedudukan yang paling tinggi, baik lahir maupun batin.
7 menurut Zakaria al-Anshari, tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti serta pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan abadi.
Ahmad Zaruq berkata, Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya untuk Allah semata.
Imam Junaid berkata, Tasawuf adalah berakhlak luhur dan meninggalkan semua akhlak tercela.
Abu Hasan asy-Syazili berkata, Tasawuf adalah melatih jiwa untuk tekun beribadah dan mengembalikannya kepada hukum-hukum ketuhanan.
Ibnu Ujaidah berkata, tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui untuk mencapai Allah, membersihkan batin dari semua akhlak tercela dan menghiasinya dengan beragam akhlak terpuji.
Awal dari tasawuf adalah ilmu, tengahnya adalah amal dan akhirnya adalah karunia.
Terdapat beberapa versi tentang munculnya ilmu tasawuf.
Ada yang percaya bahwa tasawuf telah ada sebelum Nabi Muhammad SAW menjadi rasul.
Ada pula yang meyakini bahwa tasawuf muncul setelah kerasulan Nabi.
Tasawuf sendiri muncul sebelum Nabi Muhammad SAW menjadi rasul.
Sebagian pendapat kemudian mengatakan bahwa paham tasawuf sebagai paham yang telah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah
.Hal ini kemudian berasal dari orang-orang daerah Irak dan Iran yang baru masuk Islam (sekitar abad ke-8 M). Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan serta menjauhkan diri dari berbagai kemewahan dan kesenangan keduniaan.
Sebenarnya banyak versi yang menjelaskan definisi mengenai tasawuf (tasahawwuf).
Secara terminologis, tasawuf telah didefinisikan secara beragam, hingga timbul kesan bahwa satu definisi dengan definisi yang sain saling bertentangan.
Tasawuf islami mempunyai pengertian membersihkan diri (takhali) dari sesuatu yang hina, dan menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dekat dengan Allah atau sampai pada maqam yang tinggi.
Pengertian ini dapat dirangkum kembali dalam satu kata, yaitu taqwa pada kedudukan yang paling tinggi, baik lahir maupun batin.
Menurut Zakaria al-Anshari, tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti serta pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan abadi.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ajibah Al-Hasani Asy-Syadzili menuklil perkatanan Imam Al-Ghazali dalam Iqodhul Himam “Adapun Hukum mempelajari ilmu tasawuf menurut hukum syara’ terhadap hal ini Al-Ghazali berkata;
Sesungguhnya tasawuf itu fardhu ain, karena setiap orang tidak terlepas dari cacat atau penyakit hati kecuali nabi-nabi alaihimu sholatu wassalam. Lebih Jauh Imam Abu Hasan As-Syadzili mengatakan
“Barang siapa yang tidak masuk tenggelam ke dalam ilmu kami ini, maka ia mati dalam keadaan berdosa besar tapi ia tidak mengetahui bahwa ia berdosa besar. (Al-Hasani, 2016, p. hlm 19)
Dari aspek sejarah banyak terbukti bahwa dari tokoh-tokoh sufi Aceh inilah kemudian tasawuf menyebar dan membentuk jaringan-jaringan ke seluruh Nusantara.
Sedangkan secara substansial, pemahaman tasawuf Aceh memengaruhi daerah-daerah lain, sehingga dibeberapa daerah lain ada kecendrungan isi dan corak pemikiran tasawufnya mirip dengan tasawuf Aceh, kendatipun sebetulnya sedikit banyak telah mengalami pergerseran-pergeseran atau mengalami modifikasi.
Ketika Aceh sedang mengalami puncak kejayaannya seperti disinggung di atas, ternyata secara substansial, mazhab tasawuf Ibnu Arabi dan al-Jilli yang berwatak pantheisme telah mendominasi pemikiran
dan penghayatan keagamaan dalam istana dan kalangan masyarakat umum, terutama karena ajaran itu telah dianut dan disebarkan oleh dua pemuka tasawuf Aceh, yaitu Hamzah Fansuri dan Muridnya Syamsuddin Sumatrani (wafat 1630 M).
Melalui dua orang sufi ini, terutama melalui penulisan kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu, ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang kemudian dikenal dengan Wujudiyah memperoleh kemajuan sangat pesat dianut secara luas oleh masyarakat umum dan kalangan istana.
Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa substansi pemikiran tasawuf yang nonIbnu Arabi dan al-Jilli tidak bisa berkembang, karena buktinya pada kurun waktu selanjutnya banyak muncul tokoh-tokoh sufi lainnya, seperti Nuruddin al-Raniry, Abd Rauf al-Singkili, dan sebagainya yang bergeser bahkan terkesan menolak pemikiran ala Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani.
Aceh merupakan daerah sentral dalam transformasi Islam di Indoensia. Sejak kota Malaka jatuh ke tangan Portugis, Kemunculan dan perkembangan tasawuf serta tarekat di Aceh tidak terlepas dari masuknya Islam dan perkembangannya yang dibawa oleh ulama-ulama Islam timur tengah yang ikut dalam kepal pedagang dari Arab, India dan Persia.
Dalam perkembangan selanjutnya, keenam daerah tersebut tersatukan menjadi daerah Aceh oleh Sultan Husein Syah yang memerintah Aceh Darussalam pada tahun 870-885 H/1465-1480.
Di masa inilah baru terbentuk kesatuan Aceh, yaitu satu agama, satu bangsa, dan satu Negara, dan kesatuan inilah Aceh menjadi kuat dan megah hingga mencapai zaman kegemilangannya.
Islam berkembang di Aceh dengan sangat cepat. Aceh menjadi salah satu kekuatan kerajaan Islam di Nusantara.
Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkan berdatangan ulama-ulama dari Arab, Persia atau India menjalin hubungan demi pengembangan keilmuan di Aceh.
Di Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang membaktikan diri mereka dalam renungan dakwah Islam sehingga lahirlah khazanah keilmuan dan wacana intelektual keagamaan.
Diantaranya juga adalah tasawuf dan tarekat yang juga ikut berkembang pesat mewarnai kehidupan keagamaan di Aceh.
Dalam pembicaraan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di Indonesia, Aceh memainkan peranan yang sangat penting, karena Aceh merupakan wilayah yang tidak bisa di pisahkan dalam setting sejarah Islam di Indonesia khususnya dan dengan Malaysia, Thailand, Brunei, dan Negara-negara di semenanjung melayu pada umumnya.
Pemikiran tasawuf di Aceh banyak terkait dengan pemikiran-pemikiran tasawuf di wilayah lain di nusantara, baik dari aspek sejarah maupun substansi pemikirannya.
Dari aspek sejarah banyak terbukti bahwa dari Tasawuf dan Tarekat di Aceh: Tokoh-Tokoh Dan Ajarannya diakses 24 Desember 2017.
Model pemikiran tasawuf di Aceh pada awalnya bercorak pemikiran tasawuf falsafati atau tasawuf wujudiyah yang berasal dari pemikiran Imam Al-Ghazali, Syekih Abdul Qadir Al-Jilani, Shaikh Muhiyidin Ibn Arabi, dan Syeikh Muhammad Bahahuddin Naqsyabandi.
Dari aspek sejarah banyak terbukti bahwa dari tokoh-tokoh sufi Aceh inilah kemudian tasawuf menyebar dan membentuk jaringan-jaringan ke seluruh Nusantara.
Sedangkan secara substansial, pemahaman tasawuf Aceh memengaruhi daerah-daerah lain, sehingga dibeberapa daerah lain ada kecendrungan isi dan corak pemikiran tasawufnya mirip dengan tasawuf Aceh, kendatipun sebetulnya sedikit banyak telah mengalami pergerseran-pergeseran atau mengalami modifikasi.
Ketika Aceh sedang mengalami puncak kejayaannya seperti disinggung di atas, ternyata secara substansial, mazhab tasawuf Ibnu Arabi dan al-Jilli yang berwatak pantheisme telah mendominasi pemikiran dan penghayatan keagamaan dalam istana dan kalangan masyarakat umum,
terutama karena ajaran itu telah dianut dan disebarkan oleh dua pemuka tasawuf Aceh, yaitu Hamzah Fansuri dan Muridnya Syamsuddin Sumatrani (wafat 1630 M).
Melalui dua orang sufi ini, terutama melalui penulisan kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu, ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang kemudian dikenal dengan Wujudiyah memperoleh kemajuan sangat pesat dianut secara luas oleh masyarakat umum dan kalangan istana.
Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa substansi pemikiran tasawuf yang nonIbnu Arabi dan al-Jilli tidak bisa berkembang, karena buktinya pada kurun waktu selanjutnya banyak muncul tokoh-tokoh sufi lainnya,
seperti Nuruddin al-Raniry, Abd Rauf al-Singkili, dan sebagainya yang bergeser bahkan terkesan menolak pemikiran ala Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani.
Awal perkembangan Islam di Aceh bercorak tasawuf yang mengalami perkembangan pesat dizaman Iskandar Muda dan mengalami keruntuhan dimasa penjajahan Belanda.
Tasawuf merupakan bagian dari pondasi Islam yang menyangkut tentang akhlak yaitu penyucian hati dari kotoran materi dam sifat wujud diri kita (ananiyah) dalam Ibadah.
Seseorang untuk melakukan pemahaman dan pengamalan terhadap agama Islam. Sehingga tidak semua orang Islam dapat memperoleh pengakuan bahwa ianya adalah seorang yang tasawuf atau sufi.
Untuk memperoleh gelar sufi seseorang harus tekun dan sabar, sehingga seorang sufi digelar sebagai insan kamil yaitu manusia sempurna secara ketauhidan, ilmu pengetahuan dan akidahnya.
Tasawuf merupakan bagian dari pondasi Islam yang menyangkut tentang akhlak yaitu penyucian hati dari kotoran materi dam sifat wujud diri kita (ananiyah) dalam Ibadah.
Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki hati dan memfokuskan hati hanya untuk Allah semata.
Pusat pengamalan tasawuf meliputi syariat, (syari’ah) tarekat (thariqoh) dan hakekat (haqqiqah). Syariat menyangkut amalan lahir, tarekat menyangkut amalan hati yang sekaligus merupakan pengantar menuju hakekat, dan hakekat menyangkut pengamalan ruh merupakan kemampuan menyaksikan (musyahadah) Allah swt dengan mata hatinya.
Pentingnya peran tasawuf dalam sejarah, budaya, dan kehidupan keagamaan masyarakat aceh, serta memberikan gambaran tentang bagaimana nilai-nilai tasawuf tetap relevan dalam konteks modern. (*)
*) PENULIS adalah Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang dan Alumni Dayah Al-athiyah Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Memahami sejarah tasawuf atau sufisme erat kaitannya dengan tradisi dan wacana intelektual Islam di Nusantara. Tasawuf atau sufisme merupakan sebuah ajaran yang berkembang dalam agama Islam. Tasawuf tahap paling tinggi seseorang untuk melakukan pemahaman dan pengalaman terhadap agama Islam. Sehingga tidak semua orang Islam dapat memperoleh pengakuan bahwa ianya adalah seorang yang tasawuf atau sufi. Untuk memperoleh gelar sufi seseorang harus tekun dan sabar, sehingga seorang sufi digelar sebagai insan kamil yaitu manusia sempurna secara ketauhidan, ilmu pengetahuan dan akidahnya. Aceh merupakan pintu masuk agama Islam ke Nusantara, aceh ramai didatangi oleh para saudagar muslim yang berasal dari Timur Tengah, tujuan mereka saat itu adalah untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Tahap perkembangan Islam berikutnya adalah muncul-muncul sederetan para tokoh intelektual Islam di Aceh, mereka adalah para sufi, pengetahuan keilmuan dan pemahaman keislaman para sufi tersebut telah menempati tempat istimewa dalam pengembangan Islam di Aceh, sehingga pemikiran mereka menjadi pola pikir di kesultanan Aceh ketika itu karya para tokoh sufi tersebut dipercayakan sebagai Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh Darussalam. Segala paham dari tokoh sufi tersebut terutama pemahaman tentang Islam disambut baik oleh masyarakat Aceh. Adapun tokoh dimaksud adalah Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri dan Abdur Rauf as-Singkili.
%PDF-1.7 %âãÏÓ 1 0 obj <> >> /Type /Catalog >> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <> /ColorSpace <> /ExtGState <> /Properties <> /ProcSet [/PDF /ImageC /ImageI] >> >> endobj 4 0 obj <> stream H‰lW]Š&¹|ïSÔºF)¥2¥Wïbc°1‹ >À`ûa{lÖ¾?8"RõõÀ.ßd¶TRþGèË_~¸¾üù‡výîÇ®·_ÞÚÕ®åv¯}Í=ï¾ìúï?Þþ~ýk_þð×výëo6ZÞ«›M�‹ä˜wø{ÏëÝÖ2)öy¯9öÚãúúííË¿µëÇÿ¼ý„íöÝ/ìœøI3þb×ϯ;¼·{û¸zÞ}äUj\+î´èŸ²µL|~?êË`œÄ�¶ëoúòûÇ»êßÏo¿à—>Øå¾ïeáלyÃ7Í%üÞf6N§Ñ½ãSì ŒP@^}__±+víƒZnî[¥ÈÕÕº´Ô&þ† Q¼½QöH^0yjÔÌüê·w57È´ä¯oë�6î)£lS^8…q†o~¾g�ý°Éî[9ñË]ÔúÝba¥#ú÷àþ6)Î6tßJj‘w¸äð;'~wÙŽjÀºOS{Ķ)¦W¼Ö 1‡i2Ç«" Ï»Y×®ÒR±mWàZ+àrÂqžÕïóŽî8¿áò¼·ñ®=Y¶GsTå…êBm%Ä\Œjhò¨DF¦RžÈ”A^�w˜À]1iJN®L\(‰MÙøøÄMÖ¼”*(œ�¡ÒlBäø†í„²°Ûq䂼ú¸*;Ëè¹µ-îIwg_Gf~Z³£!gôОyú‘Ñ‚4“UL†¯<2lݧø¤9â‰d½à.ǘØ6EÝ&K%7o�rÌT‰nÈ3—vä74¶OÊ# ÆR�¡è‰ZP Ê.¢á™Œ¤‹*+سXÚ¸qÖ¥[.Ù1)¸‰Êc®«r‰Ù!3çRËŽPœ6²ùŽf[4¥á(s³’ 9? #‘–�ŠZîúJ£I3*îYí�ŒBÎYÑ·ÖáäùŠ‘õÓ÷Óf.$ÕˆÒ�áúç´ Dv, ~pŒÎ‚ÇXeGg%hj$Z¨úWÓyKæÒF凟c¬ÛÔŒr„¿äµfeÑ”Ùéj~st)}÷Slﱧ®£ìNçÈ#s×p°6ðÅâxÚ‹ƒ‹¹Tß7Ý1è&»WµV
Sultan Iskandar Muda (Aksara Jawoë : سلطان إسكندر مودا) (Lahir di Bandar Aceh Darussalam, Kesultanan Aceh, 1590 atau 1593[2] – wafat di Bandar Aceh Darussalam, Kesultanan Aceh, 27 Desember 1636)[3] merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607[4]
sampai 1636.[5] Sultan Iskandar Muda masih merupakan garis keturunan laki-laki dari pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yaitu Sultan Ali Mughayat Syah sekaligus keturunan laki-laki terakhir dari Dinasti Meukuta Alam yang bertakhta sebagai Sultan Aceh. Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, di mana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.[2] Beliau juga pernah melakukan serangan terhadap Portugis, tetapi serangan tersebut tidak berhasil, meskipun begitu Aceh tetap merupakan kerajaan yang merdeka. Namanya kini diabadikan untuk Universitas Iskandar Muda, Kodam Iskandar Muda dan Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda di Banda Aceh. beliau dikenal sangat piawai dalam membangun Kerajaan Aceh Darussalam.[6][7]
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat permukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.[5]
Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; di mana sultan ini adalah putra dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.[5]
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah, putra dari Sultan Abdul-Jalil, di mana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.[5] Sampai dengan meninggalnya Sultan Iskandar Muda di tahun 1636, beliau merupakan penguasa Aceh keturunan terakhir dari Dinasti Meukuta Alam pendiri Kesultanan Aceh yang bertakhta.
Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Putroe Phang) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.[8][9]
Putri Pahang dalam istana Darud Dunia tidak hanya sebagai Permaisuri, juga menjadi penasehat bagi suaminya Sultan Iskandar Muda. Salah satunya nasehatnya adalah pembentukan Majelis Syura (Parlemen) yang beranggotakan 73 orang sebagai perwakilan penduduk dalam kerajaan Aceh.[10]
Sebagai penghormatan kepada Putroe Phang sebuah Hadih Maja (Kata-kata berhikmat) yang berbunyi:
Adat bak Poteu Meureuhom,
Hukom bak Syiah Kuala,
Kanun bak Putroe Phang,
Reusam bak Laksamana,
Hukom ngon adat lagee zat ngon sifuet,
Hadih Maja ini adalah ajaran tentang pembagian kekuasaan dalam kerajaan Aceh Darussalam3), yang bermakna:
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636, merupakan masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol ketat yang dilakukan oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari setelah mangkatnya Sultan.
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Prancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut Indonesia.[2] Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.[12]
Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang dinamakan ulèëbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Prancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim1 pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Aceh: Imeum). Ulèëbalang (Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar dan di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.[12][13]
Kekuasaan Imperialisme Eropa yang pertama datang ke Asia Tenggara adalah Portugis, pada tahun 1511 menaklukkan Malaka. Portugis kemudian menaklukkan Samudera Pasai (1521) dan memperluas pengaruhnya di Selat Malaka. Akan tetapi dari Utara Sumatera muncul lawan sepadan Aceh Darussalam, konflik berlangsung ratusan tahun dan akhirnya Sultan Aceh terbesar Iskandar Muda lahir dan pertarungan kian dahsyat. Sebagaimana diceritakan dalam Sejarah Pahang.[14]
“Dalam bulan Juli 1613, Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, Raja Aceh yang masyhur gagah perkasanya itu, telah menghantar suatu angkatan perang laut yang besar datang menyerang dan mengalahkan Negeri Johor, Batu Sawar dan Kota Seberang. Bandar-bandar utama di Negeri Johor masa itu telah diduduki oleh orang-orang Aceh. Mengikut setengah sumber, Iskandar Muda sendiri mengepalakan Angkatan Perang Aceh yang menyerang Negeri Johor itu. Sultan Alauddin Riayat Syah III, adinda baginda Raja Abdullah serta Bendahara (Perdana Menteri) Johor Tun Sri Lanang dan beberapa ramai pengiring-pengiring Sultan Johor telah ditawan dan dibawa ke Negeri Aceh…”
Setelah beberapa tahun di Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah III berjanji tidak akan lagi membantu Portugis yang telah menduduki Malaka, maka Sultan Iskandar Muda membebaskan Sultan Alauddin dan diantar kembali serta ditabalkan kembali sebagai Sultan Johor. Akan tetapi ternyata Sultan Alauddin Riayatsyah III ternyata berkhianat dan bekerjasama dengan Portugis untuk memperluas jajahan mereka di Semenanjung Melayu. Alauddin membantu Portugis untuk mengangkat Raja Bujang menjadi Raja Pahang. Raja Bujang sebelumnya adalah seorang pangeran Pahang yang telah bersumpah setia kepada Portugis.[15] Maka, September 1615. Sultan Iskandar Muda menyerang Johor kembali dengan angkatan perang yang besar, Sultan Alauddin ditangkap dan dibawa (lagi) ke Aceh sampai meninggal. Serangan armada Aceh Darussalam dilanjutkan ke Pahang sebagaimana yang dituliskan oleh Haji Buyong Adil:
“Oleh sebab orang Portugis telah menolong Sultan Johor menaikkan Raja Bujang menduduki Kerajaan Negeri Pahang, pada tahun 1617 Sultan Aceh telah mengeluarkan Angkatan Perang Aceh menyerang Negeri Pahang dan laskar-laskar Aceh yang datang itu telah membinasakan daerah di Negeri Pahang. Raja Bujang melarikan diri, sementara ayah mertuanya, Raja Ahmad, dan putranya yang bermana Raja Mughal serta 10.000 rakyat negeri Pahang ditawan ditahan dan dibawa ke Negeri Aceh. Seorang pitri dari keluarga diraja Pahang, yang bernama Putri Kamaliah, juga turut dibawa ke Aceh, yang kemudian diperistri oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, dan Putri Pahang itu termasyur dalam sejarah Aceh karena kebijaksanaannya dan disebut oleh orang-orang Aceh Putroe Phang…”
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Ratu Elizabeth I juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".[5]
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.[16]
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.[17]
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka ia dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam ia terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.[18]
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Prancis. Utusan Raja Prancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.[5]
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Prancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligoe Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk menggali sebuah kanal yang mengaliri air bersih dari sumber mata air di Mata Ie hingga ke aliran Sungai Krueng Aceh di mana kanal tersebut melintasi istananya, sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe. Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Selama 30 tahun masa pemerintahannya (1606 - 1636 SM) Sultan Iskandar Muda telah membawa Kerajaan Aceh Darussalam dalam kejayaan. Saat itu, kerajaan ini telah menjadi kerajaan Islam kelima terbesar di dunia setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan Agra. Seluruh wilayah semenanjung Melayu telah disatukan di bawah kerajaannya dan secara ekonomi Kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki hubungan diplomasi perdagangan yang baik secara internasional.
Rakyat Aceh pun mengalami kemakmuran dengan pengaturan yang mencakup seluruh aspek kehidupan, yang dibuat oleh Iskandar Muda. pada tanggal 14 September 1993, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Iskandar Muda atas jasa dan kejayaannya membangun dasar-dasar penting hubungan ketatanegaraan dan atas keagungan beliau.[19]
Bahkan beberapa tempat menggunakan nama Sultan Iskandar Muda, antara lain ;
1 Komunitas Muslim yang dapat mengerahkan 40 orang laki-laki, jumlah minimum yang diperlukan untuk melakukan salat Jumat menurut fikih Mazhab Syafi'i.
Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah (meninggal tahun 1641) merupakan Sultan Aceh ketiga belas, menggantikan Sultan Iskandar Muda. Iskandar Tsani adalah putera dari Sultan Pahang, Ahmad Syah, yang dibawa ke Aceh ketika Aceh menguasai Pahang pada tahun 1617 oleh Sultan Iskandar Muda. Ia menikah dengan puteri Sultan, yang kemudian bernama Ratu Safiatuddin, dan menggantikan Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh ketika ia wafat pada tahun 1636. "Tsani" dalam bahasa Arab berarti "dua".
Memerintah sejak kemunduran dari Armada Aceh pada 1629, Iskandar Tsani tidak dapat melanjutkan kesuksesan pemerintah sebelumnya. Ia merupakan penguasa yang kuat, sanggup menekan orang kaya (bangsawan Aceh) dan berusaha untuk mensentralisasikan kekuasaan seperti yang dilakukan oleh Iskandar Muda.[1] Masa pemerintahannya terlalu pendek untuk membuat perubahan besar, bagaimanapun, setelah kematiannya kalangan elit memaksa pengaruh mereka, dan menempatkan jandanya, Ratu Safiatuddin, di kekuasaaan, sebagai yang pertama dari beberapa sultan yang lemah.[2]
Seperti Iskandar Muda, Istana Iskandar Tsani dikenal sebagai pusat dari pendidikan Islam. Ia merupakan pelindung dari Nuruddin ar-Raniri, seorang cendekiawan Islam dari Gujarat yang datang ke Aceh pada tahun 1637.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahar (meninggal 29 September 1571) adalah Sultan ketiga dari Kesultanan Aceh, yang memerintah dari tahun 1537 atau 1539 hingga kematiannya. Ia dianggap sebagai salah satu penguasa terkuat sepanjang sejarah kesultanan dan sangat memperkuat Aceh. Pemerintahan Alauddin ditandai dengan meningkatnya konflik dengan saingannya Portugis dan Melayu serta pengiriman utusannya kepada sultan Utsmani, Suleiman yang Agung pada tahun 1560-an.
Pada saat naik tahta, Sultan Alauddin Al-Qahhar tampak menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, namun juga untuk melakukan futuhat ke wilayah-wilayah lain, khususnya daerah pedalaman Sumatra, seperti daerah Batak pada tahun 1539. Dalam penyerbuan itu, ia menggunakan pasukan dari Utsmaniyah, Arab, dan Kekaisaran Ethiopia.[1] Pasukan Turki Utsmaniyah berjumlah 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando orang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasha di Kairo.[2]
Ia juga menyerang Kerajaan Aru, tetapi dilawan oleh pasukan Kesultanan Johor. Tahun 1547, secara pribadi ia terlibat dalam serangan yang gagal ke Kesultanan Malaka. Setelah kejadian ini, Aceh berubah menjadi negara yang damai selama 10 tahun pada dekade 1550-an.
Akan tetapi, pada tahun 1564 atau 1565, ia menyerang Johor dan membawa Sultannya, Alauddin Riayat Shah II dari Johor, ke Aceh dan ia-pun dihukum mati, kemudian menobatkan Muzaffar II dari Johor di takhta Kesultanan Johor. Aceh kemudian mengambil kekuasan atas Aru dari Kesultanan Johor. Tahun 1568 ia melancarkan kembali serangan yang gagal ke Malaka. Ketika Sultan Muzaffar diracun di Johor, Sultan Alauddin mengirimkan armadanya ke Johor, tetapi harus kembali karena pertahanan Johor yang kuat.