Nama Raja Abad Pertengahan
Halaman ini berisi artikel tentang Abad Pertengahan di Eropa. Untuk sejarah dunia antara abad ke-5 sampai abad ke-15, lihat
Di dalam sejarah Eropa, Abad Pertengahan adalah kurun waktu yang bermula sekitar tahun 500 dan berakhir pada tahun 1500 tarikh Masehi. Kurun waktu tersebut merupakan penggal kedua dari pembagian tradisional sejarah Eropa menjadi Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern. Perkembangan-perkembangan utama pada kurun waktu ini adalah predominansi sektor pertanian di bidang ekonomi, eksploitasi rakyat tani, komunikasi interregional yang lamban, pentingnya hubungan pribadi dalam struktur kekuasaan, dan tata negara yang lemah. Kurun waktu ini adakalanya dibagi lagi menjadi Awal Abad Pertengahan, Puncak Abad Pertengahan, dan Akhir Abad Pertengahan. Sebutan alternatif untuk Awal Abad Pertengahan adalah Abad Kegelapan.
Penurunan populasi, kontraurbanisasi, tumbangnya kekuasaan terpusat, perpindahan suku-suku (terutama suku-suku bangsa Jermani), dan Kristenisasi, yang dimulai pada Akhir Abad Kuno, terus berlanjut sampai ke Awal Abad Pertengahan. Perpindahan suku-suku tersebut bermuara pada disintegrasi Kekaisaran Romawi Barat dan kemunculan kerajaan-kerajaan baru. Di Eropa pasca-Romawi, penurunan pajak, pembiayaan angkatan bersenjata melalui anugerah tanah lungguh, dan pembauran peradaban Romawi Akhir dengan tradisi-tradisi para penginvasi terdokumentasi dengan baik. Kekaisaran Romawi Timur masih berdiri kukuh, tetapi kedaulatannya atas Timur Tengah dan Afrika Utara hilang direnggut bala tentara Muslim pada abad ke-7. Sekalipun wangsa Karoling yang berasal dari suku Franka berhasil mempersatukan kembali banyak daerah peninggalan Kekaisaran Romawi Barat pada awal abad ke-9, negara Kekaisaran Karoling dengan cepat pecah menjadi kerajaan-kerajaan yang saling bersaing, yang kemudian hari tercerai-berai menjadi kadipaten-kadipaten dan daerah-daerah ketuanan swatantra.
Pada Puncak Abad Pertengahan, yang bermula selepas tahun 1000, populasi Eropa melonjak pesat ketika periode Suhu Hangat Abad Pertengahan membuka peluang untuk meningkatkan hasil panen, dan inovasi-inovasi di bidang teknologi maupun pertanian menghadirkan suatu "revolusi niaga". Perbudakan nyaris hilang, dan rakyat tani dapat mengangkat derajatnya dengan cara mendaulat daerah-daerah yang jauh demi mendapatkan konsesi ekonomi dan hukum. Pusat-pusat niaga lokal tumbuh menjadi kota-kota baru, dan para pengrajin perkotaan bergabung membentuk serikat-serikat usaha lokal demi melindungi kepentingan bersama. Para petinggi Gereja Barat menerima supremasi paus demi menangkis campur tangan awam dalam urusan gerejawi, yang justru mengakselerasi keterpisahan Gereja Katolik di barat dari Gereja Ortodoks di timur, serta memicu sengketa Investitur antara lembaga kepausan dan kuasa-kuasa sekuler. Dengan menyebarnya aswasada berat, muncul golongan ningrat baru yang mengukuhkan kedudukannya melalui adat pewarisan yang ketat. Di dalam sistem feodalisme para kesatria berkuda ningrat berutang bakti kepada tuan-tuan mereka sebagai ganti anugerah tanah lungguh yang mereka terima. Puri-puri batu dibangun di daerah-daerah tempat kekuasaan terpusat tidak begitu kuat, tetapi kekuasaan negara meningkat menjelang akhir kurun waktu ini. Pemukiman rakyat tani dan kaum ningrat Eropa Barat ke kawasan timur dan selatan Eropa, yang kerap dipicu oleh perang-perang Salib, bermuara kepada ekspansi Dunia Kristen Latin. Penyebaran sekolah-sekolah katedral dan universitas-universitas mendorong munculnya metode diskusi ilmiah baru dengan penekanan pada argumentasi rasional yang dikenal dengan sebutan skolatisisme. Ziarah-ziarah yang dilakukan secara besar-besaran mendorong dibangunnya gereja-gereja raksasa berarsitektur Romanik yang kukuh, sementara inovasi-inovasi di bidang pengerjaan bangunan mendorong dikembangkannya arsitektur Gothik yang lebih anggun.
Berbagai musibah, antara lain bencana Kelaparan Besar dan wabah Maut Hitam yang menyusutkan populasi sampai 50 persen pada abad ke-14, menjadi pembuka kurun waktu Akhir Abad Pertengahan. Konflik-konflik antaretnis dan antar golongan masyarakat kian memanas, dan konflik-konflik lokal kerap meningkat menjadi perang besar, misalnya Perang Seratus Tahun. Menjelang akhir kurun waktu ini, Kekaisaran Romawi Timur dan negara-negara Balkan ditaklukkan kekuatan Muslim yang baru, yakni Kemaharajaan Usmani; sementara di Jazirah Iberia, kerajaan-kerajaan Kristen memenangkan perang berabad-abad melawan tetangga-tetangga Muslim mereka. Pementingan keimanan pribadi terdokumentasi dengan baik, tetapi Skisma Barat dan gerakan-gerakan pembangkangan yang dibidatkan memunculkan penting terhadap struktur kekuasaan tradisional di dalam Gereja Barat. Para sarjana humanis mulai menitikberatkan keluhuran martabat manusia, dan para arsitek dan seniman Renaisans Awal menghidupkan kembali beberapa unsur budaya klasik di Italia. Dalam seratus tahun terakhir Abad Pertengahan, usaha-usaha meneroka samudra dalam rangka mencari jalur-jalur dagang baru melahirkan Abad Penjelajahan Samudra.
Musik Religi Berkembang
Charlemagne dikenal sebagai pendukung keras agama Kristen, sehingga ia menyukai musik gereja khususnya musik liturgi Roma. Pada tahun 774 M, ia meminta Paus Hadrian I mengirim biarawan dari Roma ke istana Aachen untuk mengajar paduan suara.
Peristiwa ini memicu penyebaran musik tradisional Gregorian ke seluruh gereja-gereja kaum Franka. pada tahun 789 M, Charlemagne juga mengeluarkan dekrit yang memerintahkan pendeta kekaisarannya untuk mempelajari dan bernyanyi dengan benar nyanyian Romawi.
Pada masa ini juga, sekolah musik didirakan dan para biarawan diberi tugas menyalin musik dan membantu melestarikan nyanyian Gregorian hingga saat ini.
Akhir Abad Pertengahan
Akhir Abad Pertengahan ditandai oleh berbagai musibah dan malapetaka yang meliputi bencana kelaparan, wabah penyakit, dan perang, yang secara signifikan menyusutkan jumlah penduduk Eropa; antara 1347 sampai 1350, wabah Maut Hitam menewaskan sekitar sepertiga dari penduduk Eropa.
Kontroversi, bidah, dan Skisma Barat yang menimpa Gereja Katolik, terjadi bersamaan dengan konflik antarnegara, pertikaian dalam masyarakat, dan pemberontakan-pemberontakan rakyat jelata yang melanda kerajaan-kerajaan di Eropa. Perkembangan budaya dan teknologi mentransformasi masyarakat Eropa, mengakhiri kurun waktu Akhir Abad Pertengahan, dan mengawali kurun waktu Awal Zaman Modern.
Nah, itulah penjelasan singkat mengenai sejarah singkat Abad Pertengahan di Eropa. Grameds dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang bagian dari sejarah Eropa tersebut. Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang sejarah Abad Pertengahan agar dapat mempelajarinya secara penuh. Selamat membaca.
Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.
Pada antara tahun 768 dan 814 Masehi, berbagai wilayah di Eropa Barat seperti Prancis, Jerman, Belgia, dan Belanda dipimpin oleh seorang raja yang berperang tanpa henti selama bertahun-tahun. Ia adalah Charlemagne atau yang dikenal sebagai Karl hingga Charles Agung.
Ia adalah penguasa besar pada abad pertengahan yang berhasil menyatukan berbagai wilayah di Eropa Barat menjadi satu kerajaan. Sosoknya erat sebagai ahli strategi militer sehingga selama pemerintahannya perang terus terjadi.
Meski terbentuk dari pertumpahan darah, wilayah yang dipimpinnya menyebabkan percepatan seni, sastra, dan budaya Kristen yang baru serta distandarisasi. Bagaimana sosoknya? Berikut 7 fakta tentang Charlemagne dikutip melalui Mental Floss.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Puncak Abad Pertengahan
Puncak Abad Pertengahan bermula sesudah tahun 1000 Masehi, yaitu ditandai dengan populasi Eropa yang meningkat pesat berkat munculnya inovasi-inovasi di bidang teknologi dan pertanian, yang memungkinkan berkembangnya perniagaan. Lonjakan populasi Eropa juga disebabkan oleh perubahan iklim selama periode Suhu Hangat Abad Pertengahan yang memungkinkan peningkatan hasil panen.
Ilustrasi naskah Prancis dari Abad Pertengahan yang menampilkan ketiga golongan masyarakat Abad Pertengahan: golongan yang berdoa (rohaniwan), golongan yang bertarung (kesatria), dan golongan yang bekerja (petani). Hubungan di antara ketiga golongan ini diatur menurut tatanan feodalisme dan manorialisme (Li Livres dou Sante, abad ke-13).
Ada dua tatanan kemasyarakatan yang diterapkan pada Puncak Abad Pertengahan, yakni manorialisme dan feodalisme. Manorialisme adalah penertiban rakyat jelata menjadi pemukim di desa-desa, dengan kewajiban membayar sewa lahan dan bekerja bakti bagi kaum ningrat; sementara feodalisme adalah struktur politik yang mewajibkan para kesatria dan kaum ningrat kelas bawah untuk maju berperang membela junjungan mereka sebagai ganti anugerah hak sewa atas lahan dan tanah perdikan (bahasa Inggris: manor).
Perang Salib yang mula-mula diserukan pada 1095 adalah upaya militer umat Kristen Eropa Barat untuk merebut kembali kekuasaan atas Tanah Suci dari umat Islam. Raja-raja menjadi kepala dari negara-negara bangsa yang tersentralisasi. Sistem kepemimpinan semacam ini mengurangi angka kejahatan dan kekerasan, tetapi membuat cita-cita untuk menciptakan suatu Dunia Kristen yang bersatu semakin sukar diwujudkan.
Kehidupan intelektual ditandai oleh skolastisisme, filsafat yang mengutamakan keselarasan antara iman dan akal budi, dan ditandai pula oleh pendirian universitas-universitas. Teologi Thomas Aquinas, lukisan-lukisan Giotto, puisi-puisi Dante dan Chaucer, perjalanan-perjalanan Marco Polo, dan katedral-katedral berlanggam Gothik semisal Katedral Chartres, adalah segelintir dari capaian-capaian menakjubkan pada penghujung kurun waktu Puncak Abad Pertengahan dan permulaan kurun waktu Akhir Abad Pertengahan.
Munculnya kekuasaan negara
Puncak Abad Pertengahan adalah kurun waktu formatif dalam sejarah negara modern di Dunia Barat. Raja-raja di Prancis, Inggris, dan Spanyol memperkukuh kekuatan mereka, dan membentuk lembaga-lembaga pemerintahan yang terus bertahan dalam waktu yang sangat lama.[181] Kerajaan-kerajaan baru, seperti Hungaria dan Polandia, menjadi kekuatan-kekuatan utama di kawasan tengah Eropa setelah menerima agama Kristen.[182] Orang Magyar menetap di Hungaria sekitar tahun 900 di bawah pimpinan Raja Árpád (wafat sekitar 907) setelah beberapa kali melancarkan invasi pada abad ke-9.[183] Lembaga kepausan, yang sudah lama terpikat pada ideologi kemerdekaan dari raja-raja sekuler, untuk pertama kali dalam sejarahnya menyatakan diri sebagai penguasa duniawi atas seluruh Dunia Kristen. Monarki kepausan mencapai puncak kejayaannya pada awal abad ke-13 di bawah kepemimpinan Paus Inosensius III (menjabat 1198–1216).[184] Perang Salib Utara dan pergerakan kerajaan-kerajaan dan tarekat-tarekat militer Kristen ke daerah-daerah pagan di kawasan Laut Baltik dan kawasan timur laut Finlandia mengakibatkan terjadinya asimilasi paksa sejumlah besar suku bangsa pribumi setempat ke dalam kebudayaan Eropa.[185]
Pada permulaan kurun waktu Puncak Abad Pertengahan, Jerman berada di bawah pemerintahan wangsa Otto yang bersusah payah berusaha mengendalikan adipati-adipati yang sangat berkuasa di negeri itu, yakni para penguasa wilayah-wilayah kesukuan yang terbentuk pada Zaman Migrasi. Pada 1024, wangsa Otto digantikan oleh wangsa Sali, yang terkenal pernah bertikai dengan lembaga kepausan pada masa pemerintahan Kaisar Heinrich IV (memerintah 1084–1105) sehubungan dengan kewenangan Sri Paus untuk mengangkat petinggi Gereja. Pertikaian seputar kewenangan mengangkat petinggi gereja ini disebut Kontroversi Investitur.[186] Kaisar-kaisar penggantinya masih harus berjuang keras menghadapi lembaga kepausan maupun kaum ningrat Jerman. Sepeninggal Kaisar Heinrich V yang mangkat tanpa meninggalkan ahli waris, Jerman memasuki kurun waktu instabilitas yang baru berakhir setelah Friedrich Barbarossa (memerintah 1155–1190) naik takhta.[187] Meskipun Friedrich Barbarossa memerintah secara efektif, permasalahan-permasalahan hakiki belum juga tuntas, sehingga kaisar-kaisar penggantinya pun masih harus berjuang keras sampai dengan abad ke-13.[188] Cucu Friedrich Barbarossa, Friedrich II (memerintah 1220–1250), yang juga mewarisi takhta Kerajaan Sisilia melalui garis nasab ibunya, berulang kali bertikai dengan lembaga kepausan. Majelis istananya terkenal beranggotakan kaum cerdik pandai, dan ia sendiri acap kali dituduh sebagai seorang ahli bidah.[189] Friedrich II maupun kaisar-kaisar penggantinya harus berjuang menanggulangi berbagai macam kesulitan, antara lain invasi bangsa Mongol ke Eropa pada pertengahan abad ke-13. Bangsa Mongol mula-mula meluluhlantakkan kepangeranan-kepangeranan Rus' Kiev, dan selanjutnya menginvasi kawasan timur Eropa pada tahun 1241, 1259, dan 1287.[190]
Di bawah pemerintahan raja-raja wangsa Capet, monarki Prancis sedikit demi sedikit menundukkan kaum ningrat. Dari daerah Île-de-France, raja-raja wangsa Capet perlahan-lahan meluaskan kekuasaannya ke daerah-daerah lain di wilayah Prancis pada abad ke-11 dan ke-12.[191] Saingan terberat raja-raja wangsa Capet adalah para Adipati Normandia. Pada 1066, Adipati Normandia, Guillaume II atau William Sang Penakluk (menjabat 1035–1087), berhasil menaklukkan Inggris (memerintah selaku Raja Inggris 1066–1087) dan membangun sebuah kekaisaran lintas selat yang mampu bertahan dalam berbagai bentuknya sepanjang sisa kurun waktu Abad Pertengahan.[192][193] Orang Norman juga mendiami Sisilia dan kawasan selatan Italia, semenjak Robert Guiscard (wafat 1085) mendarat di pulau itu pada 1059 dan mendirikan sebuah kadipaten yang menjadi cikal bakal Kerajaan Sisilia.[194] Pada masa pemerintahan raja-raja Inggris dari wangsa Anjou, terutama Raja Henry II (memerintah 1154–1189) dan putranya, Raja Richard I (memerintah 1189–99), raja-raja Inggris memerintah atas wilayah Inggris dan daerah yang luas di wilayah Prancis.[195][V] Sebagian besar dari daerah kekuasaan di wilayah Prancis ini menjadi milik pusaka wangsa Anjou semenjak Raja Henry II menikahi Aliénor, Adipati Putri Aquitania (wafat 1204), ahli waris atas sebagian besar daerah di kawasan selatan Prancis.[197][W] Kadipaten Normandia dan daerah-daerah kekuasaan Inggris di kawasan utara Prancis jatuh ke tangah Raja Prancis, Philippe Auguste (memerintah 1180–1223), pada masa pemerintahan adik dari Raja Richard I, Raja John (memerintah 1199–1216). Hilangnya daerah kekuasaan ini menimbulkan perselisihan di kalangan bangsawan Inggris, sementara pungutan paksa yang diberlakukan Raja John guna mendanai usahanya yang gagal untuk merebut kembali wilayah Normandia berbuntut pada penandatanganan Magna Carta (piagam agung) tahun 1215 yang mengukuhkan hak-hak dan keistimewaan warga merdeka di Inggris. Pada masa pemerintahan putra Raja John, Raja Henry III (memerintah 1216–1272), semakin banyak keleluasaan dianugerahkan kepada kaum bangsawan sehingga mengakibatkan merosotnya kuasa kerajaan.[198] Monarki Prancis melanjutkan usahanya untuk menundukkan kaum ningrat pada penghujung abad ke-12 sampai abad ke-13, sehingga luas kawasan yang diperintah secara langsung oleh raja semakin bertambah, dan pemerintahan Kerajaan Prancis menjadi semakin terpusat.[199] Pada masa pemerintahan Raja Louis IX (memerintah 1226–1270), muruah raja semakin meningkat manakala Raja Prancis menjadi tokoh penengah yang disegani oleh hampir seluruh penguasa di Eropa.[200][X]
Di Jazirah Iberia, negara-negara Kristen yang terpinggirkan ke kawasan barat laut jazirah mulai berbalik menekan negara-negara Islam di kawasan selatan jazirah pada kurun waktu yang dikenal dengan sebutan Reconquista (penaklukan kembali).[202] Sekitar tahun 1150, masyarakat Kristen di kawasan utara jazirah telah bersatu membentuk lima kerajaan besar, yakni Kerajaan León, Kerajaan Kastila, Kerajaan Aragon, Kerajaan Navara, dan Kerajaan Portugal.[203] Kawasan selatan Jazirah Iberia masih dikuasai negara-negara Islam merdeka yang disebut taifa, pecahan dari Khilafah Kordoba (bahasa Arab: خلافة قرطبة, Khilāfat Qurṭuba) yang runtuh pada 1031.[202] Negara-negara Islam ini berperang melawan negara-negara Kristen sampai Khilafah Almohad (bahasa Arab: خلافة الموحدون, Khilāfatul Muwaḥḥidūn) menegakkan kembali pemerintahan Islam yang terpusat di kawasan selatan jazirah pada dasawarsa 1170-an.[204] Bala tentara Kristen sekali lagi maju memerangi kaum Muslim pada permulaan abad ke-13. Perang melawan kaum Muslim ini mencapai puncaknya pada peristiwa penaklukan kota Sevilla tahun 1248.[205]
Pada abad ke-11, orang Turki Seljuk merebut sebagian besar wilayah Timur Tengah, menduduki Persia pada dasawarsa 1040-an, Armenia pada dasawarsa 1060-an, dan Yerusalem pada tahun 1070. Pada 1071, bala tentara Turki mengalahkan bala tentara Romawi Timur dalam Pertempuran Manzikert, bahkan berhasil menawan Kaisar Romawi Timur, Romanos IV (memerintah 1068–1071), sehingga orang Turki akhirnya dapat leluasa menginvasi Asia Kecil. Pendudukan Asia Kecil oleh orang Turki merupakan pukulan berat bagi Kekaisaran Romawi Timur, karena harus kehilangan sebagian besar warganya sekaligus pusat kekuatan perekonomiannya. Meskipun mampu kembali menyatukan barisan dan memulihkan kekuatan tempurnya, Kekaisaran Romawi Timur tidak pernah sanggup merebut kembali seluruh Asia Kecil dan sering kali menjadi pihak yang harus bertahan digempur musuh. Bangsa Turki juga menghadapi kesulitan, Yerusalem yang sudah berhasil mereka kuasai akhirnya jatuh ke tangan kaum Fatimiyun dari Mesir, dan didera serangkaian perang saudara.[207] Kekaisaran Romawi Timur juga harus menghadapi bangsa Bulgaria yang kembali bangkit dan menyebar ke seluruh Jazirah Balkan pada penghujung abad ke 12 sampai abad ke 13.[208]
Perang Salib bertujuan merebut Yerusalem dari penguasaan kaum Muslim. Perang Salib Pertama dimaklumkan oleh Paus Urbanus II (menjabat 1088-1099) dalam Konsili Clermont pada 1095 sebagai tanggapan terhadap permintaan bantuan yang diajukan Kaisar Romawi Timur, Aleksios Komnenos (memerintah 1081–1118) untuk membendung laju pergerakan kaum Muslim. Paus Urbanus menjanjikan anugerah indulgensi bagi siapa saja yang ikut serta. Berlaksa-laksa orang dari seluruh lapisan masyarakat berdatangan dari seluruh pelosok Eropa dan merebut Yerusalem pada 1099.[209] Salah satu aksi yang menjadi bagian dari Perang Salib adalah pogrom (aksi pembinasaan) terhadap orang-orang Yahudi Eropa yang sering kali dilakukan pada saat bala Tentara Salib bergerak meninggalkan tanah airnya menuju Dunia Timur. Aksi semacam ini berlangsung sangat brutal, terutama pada masa Perang Salib Pertama,[76] manakala paguyuban-paguyuban umat Yahudi di Köln, Mainz, dan Worms dibinasakan, dan paguyuban-paguyuban umat Yahudi di kota-kota yang terletak di antara Sungai Seine dan Sungai Rhein didera kehancuran.[210] Dampak lain dari Perang Salib adalah terbentuknya tarekat-tarekat zuhud jenis baru, yakni Tarekat Ketentaraan Haikal (bahasa Latin: Ordo Militum Templariorum) dan Tarekat Panti Husada (bahasa Latin: Ordo Hospitalis), yang memadukan cara hidup zuhud dan darmabakti keprajuritan.[211]
Bala Tentara Salib mendirikan negara-negara Tentara Salib di daerah-daerah taklukan mereka. Pada abad ke-12 dan ke-13, timbul serangkaian konflik di antara negara-negara ini dan negara-negara Islam di sekitarnya. Permohonan bantuan yang diajukan negara-negara Tentara Salib kepada lembaga kepausan menghasilkan pemakluman perang-perang Salib berikutnya,[209] misalnya pemakluman Perang Salib Ketiga untuk merebut kembali Yerusalem yang telah jatuh ke tangan Sultan Mesir dan Syam, Saladin (wafat 1193), pada 1187.[212][Y] Pada 1203, Perang Salib Keempat beralih sasaran dari Tanah Suci ke Konstantinopel. Kota Konstantinopel direbut pada 1204 oleh bala Tentara Salib yang mendirikan Kekaisaran Latin Konstantinopel.[214] Peristiwa ini benar-benar melemahkan Kekaisaran Romawi Timur. Meskipun berhasil merebut kembali Konstantinopel pada 1261, Kekaisaran Romawi Timur tidak sanggup lagi memulihkan kekuatannya seperti sediakala.[215] Pada 1291, semua negara Tentara Salib telah ditaklukkan atau disingkirkan dari daratan Timur Tengah, meskipun Kerajaan Yerusalem tituler masih bertahan hidup di Pulau Siprus sampai beberapa tahun kemudian.[216]
Para Paus menyerukan agar perang-perang Salib dikobarkan di tempat-tempat selain Tanah Suci, yakni di Spanyol, di kawasan selatan Prancis, dan di kawasan sekeliling Laut Baltik.[209] Perang Salib Spanyol menyatu dengan Perang Reconquista (penaklukan kembali) negeri Spanyol dari kekuasaan kaum Muslim. Meskipun Tarekat Kesatria Haikal dan Tarekat Kesatria Pramuhusada ikut serta dalam Perang Salib Spanyol, tarekat-tarekat militer religius asli Spanyol juga dibentuk, sebagian besar di antaranya telah bergabung membentuk dua tarekat besar, yakni Tarekat Kalatrava dan Tarekat Santiago, pada permulaan abad ke-12.[217] Kawasan utara Eropa juga masih berada di luar lingkup pengaruh agama Kristen sampai dengan abad ke-11 atau abad-abad sesudahnya, dan menjadi medan tempur Perang Salib Utara pada abad ke-12 sampai dengan abad ke-14. Perang Salib ini juga menghasilkan pembentukan sebuah tarekat militer, yakni Tarekat Saudara-Saudara Pedang. Tarekat lainnya, yakni Tarekat Kesatria Teuton, dibentuk di negara-negara Tentara Salib, tetapi lebih banyak berkiprah di kawasan persekitaran Laut Baltik selepas tahun 1225, dan memindahkan markas besarnya ke Marienburg di Prusia pada 1309.[218]
Pada abad ke-11, perkembangan di bidang ilmu filsafat dan ilmu teologi menyebabkan kegiatan ilmiah meningkat. Penganut paham realisme dan penganut paham nominalisme memperdebatkan konsep "kesemestaan". Wacana-wacana filsafati disemarakkan oleh penemuan kembali gagasan-gagasan Aristoteles yang mengutamakan empirisme dan rasionalisme. Para cendekiawan seperti Petrus Abelardus (wafat 1142) dan Petrus Lombardus (wafat 1164) memperkenalkan logika ala Aristoteles ke dalam ilmu teologi. Pada penghujung abad ke-11 dan permulaan abad ke-12, sekolah-sekolah katedral marak bermunculan di seluruh kawasan barat Eropa, menandai beralihnya proses belajar-mengajar dari biara-biara ke katedral-katedral dan kota-kota.[219] Sekolah-sekolah katedral kemudian hari tergantikan oleh universitas-universitas yang didirikan di kota-kota besar Eropa.[220] Filsafat dan teologi melebur dan menyatu menjadi paham skolastisisme, yang merupakan ikhtiar para cendekiawan abad ke-12 dan ke-13 untuk merukunkan berbagai karya tulis yang dianggap berwibawa, terutama merukunkan gagasan-gagasan Aristoteles dengan Alkitab. Gerakan skolastisisme berusaha menerapkan pendekatan yang sistematis pada kebenaran dan akal budi.[221] Gerakan ini berpuncak pada gagasan-gagasan Tomas Aquinas (wafat 1274), penulis Summa Theologica (Ikhtisar Teologi).[222]
Kejatmikaan dan adab asmara bersusila berkembang di lingkungan istana dan kalangan bangsawan. Budaya keningrat-ningratan ini diungkapkan dengan menggunakan bahasa-bahasa rakyat, alih-alih menggunakan bahasa Latin, dalam bentuk puisi, hikayat, legenda, dan lagu-lagu populer yang disebarluaskan oleh para troubadour (penghibur keliling). Hikayat-hikayat ini sering kali ditulis dalam bentuk chansons de geste (kidung-kidung wiracarita) semisal Kidung Roland atau Kidung Hildebrand.[223] Karya-karya tulis sejarah sekuler maupun agamawi juga dihasilkan pada kurun waktu ini.[224] Galfridus Orang Fynwy (wafat sekitar 1155) menyusun Historia Regum Britanniae (Sejarah Raja-Raja Britania), sekumpulan hikayat dan legenda tentang Raja Arthur.[225] Karya-karya tulis lainnya lebih bersifat sejarah, misalnya Gesta Friderici Imperatoris (Hikayat Kaisar Friedrich) karya Otto dari Freising (wafat 1158) yang berisi penjabaran terperinci mengenai sepak terjang Kaisar Friedrich Barbarossa, ataupun Gesta Regum (Hikayat Raja-Raja) karya William dari Malmesbury (wafat sekitar 1143) yang memuat riwayat raja-raja Inggris.[224]
Kajian-kajian di bidang hukum mengalami kemajuan pada ke-12. Hukum sekuler maupun hukum kanon (hukum Gereja) dipelajari pada Puncak Abad Pertengahan. Hukum sekuler, atau hukum Romawi, mengalami kemajuan besar berkat penemuan Corpus Juris Civilis (Kitab Undang-Undang Hukum Sipil) pada abad ke-11, dan pada tahun 1100, hukum Romawi sudah diajarkan di Bologna. Perkembangan ini bermuara pada pencatatan dan pembakuan kaidah-kaidah hukum di seluruh kawasan barat Eropa. Hukum kanon juga dipelajari, dan sekitar tahun 1140, seorang rahib bernama Grasianus (berkarya pada abad ke-12), yang berprofesi sebagai pengajar ilmu teologi di Bologna, menyusun kitab Decretum (Ketetapan), yang menjadi buku pedoman di bidang hukum kanon.[226]
Salah satu dampak dari pengaruh budaya Yunani dan Islam terhadap sejarah Eropa pada kurun waktu ini adalah penggantian angka Romawi dengan tata urutan angka desimal dan penciptaan ilmu aljabar, yang memungkinkan ilmu matematika menjadi lebih maju. Ilmu astronomi mengalami kemajuan setelah kitab Almagestum karya Ptolemaios diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin pada penghujung abad ke-12. Ilmu kedokteran juga mulai dipelajari, teristimewa di kawasan selatan Italia, tempat ilmu kedokteran Islam mempengaruhi sekolah kedokteran di Salerno.[227]
Perkembangan teknologi dan militer
Salah satu perkembangan besar di bidang militer pada Akhir Abad Pertengahan adalah meningkatnya pengerahan pasukan pejalan kaki dan pasukan aswasada berperlengkapan ringan.[312] Orang-orang Inggris juga mengerahkan pasukan pemanah bersenjata busur panjang, tetapi negeri-negeri lain tidak mampu membentuk pasukan serupa dengan tingkat keberhasilan yang sama.[313] Baju zirah terus-menerus dikembangkan, dipacu oleh peningkatan daya hujam anak panah yang dilesatkan dengan busur silang, sehingga akhirnya menghasilkan zirah lempeng yang berguna melindungi para prajurit dari tembakan busur silang maupun senjata api genggam yang kala itu sudah diciptakan.[314] Senjata-senjata galah kembali menjadi senjata andalan dengan dibentuknya pasukan-pasukan pejalan kaki Flandria dan Swiss yang dipersenjatai dengan tembiang dan tombak-tombak bergagang panjang lainnya.[315]
Di bidang tani-ternak, meningkatnya budi daya domba berbulu panjang memungkinkan dihasilkannya pintalan benang wol yang lebih alot. Selain itu, penggunaan rahat sebagai pengganti luli dan gelendong untuk mengantih membuat hasil pintalan benang wol meningkat hingga tiga kali lipat.[316][AH] Salah satu wujud penyempurnaan ciptaan manusia yang kurang berkaitan dengan teknologi tetapi besar dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari adalah penggunaan kancing untuk merapatkan pakaian. Dengan menggunakan kancing, orang tidak perlu lagi merapatkan pakaian pada tubuh si pemakai dengan cara mengencangkan tali yang diloloskan melalui lubang-lubang tali atau kaitan yang terpasang pada pakaian (serupa dengan cara mengencangkan dan mengikat tali sepatu).[318] Kincir angin disempurnakan menjadi kincir menara. Bagian puncak dari kincir menara ini dapat diputar, sehingga kitiran yang terpasang pada bagian puncak itu dapat diatur menghadap hembusan angin dari arah manapun datangnya.[319] Penggunaan tanur embus, yang muncul sekitar tahun 1350 di Swedia, meningkatkan jumlah dan mutu besi yang dihasilkan dari kegiatan peleburan bijih besi.[320] Hukum paten pertama kali diundangkan pada 1447 di Venesia untuk melindungi hak-hak para pereka cipta atas barang-barang ciptaan mereka.[321]
Teknologi dan militer
Pada abad ke-12 dan ke-13, Eropa berhasil mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan inovasi-inovasi terkait metode produksi. Kemajuan-kemajuan besar di bidang teknologi mencakup reka cipta kincir angin, pembuatan jam-jam mekanik yang pertama, usaha penyulingan minuman keras, dan penggunaan astrolab.[229] Kacamata berlensa cekung diciptakan sekitar tahun 1286 oleh seorang pengrajin Italia yang tidak diketahui namanya. Pengrajin ini mungkin membuka usaha kriyanya di kota Pisa atau di daerah sekitar kota itu.[230]
Rekayasa sistem rotasi tiga lahan untuk budi daya tanaman[157][Z] memperbesar tingkat pemanfaatan lahan dalam setahun dari setengah luas lahan berdasarkan sistem rotasi dua lahan yang lama menjadi dua pertiga luas lahan berdasarkan sistem yang baru, sehingga produksi pangan juga meningkat.[231] Pengembangan luku berat memungkinkan tanah yang lebih padat dapat digarap secara efisien, didukung oleh meluasnya pemakaian kerah kuda yang menyebabkan pemanfaatan tenaga lembu sebagai penghela beban tergantikan oleh tenaga kuda. Kuda lebih gesit daripada lembu dan tidak perlu digembalakan di padang yang luas, sehingga turut mendukung penerapan sistem rotasi tiga lahan.[232]
Pembangunan katedral-katedral dan puri-puri memajukan teknologi pendirian bangunan, sehingga memungkinkan pembangunan gedung-gedung batu berukuran besar. Bangunan-bangunan penunjang yang didirikan kala itu mencakup balai-balai kota, rumah-rumah, jembatan-jembatan, dan lumbung-lumbung perpuluhan.[233] Pembuatan kapal semakin berkembang berkat penggunaan metode pemasangan papan lambung pada gading-gading sebagai ganti sistem sambungan purus peninggalan Romawi. Kemajuan lain di bidang perkapalan adalah pemakaian layar sabang dan kemudi cawat yang meningkatkan laju pergerakan kapal layar.[234]
Di bidang kemiliteran, pengerahan prajurit pejalan kaki dalam satuan-satuan tugas khusus semakin meningkat. Selain barisan aswasada berperlengkapan berat yang masih merupakan pasukan terbesar, angkatan bersenjata juga mengikutsertakan pasukan pemanah busur silang berkuda, pasukan pemanah busur silang pejalan kaki, pasukan penggali parit, dan pasukan perekayasa.[235] Pemanfaatan busur silang, yang sudah dikenal sejak Akhir Abad Kuno, semakin meningkat. Salah satu penyebabnya adalah semakin seringnya pengepungan dilakukan dalam peperangan pada abad ke-10 dan ke-11.[152][AA] Meningkatnya pemanfaatan busur silang pada abad ke-12 dan ke-13 mendorong pembuatan dan pemanfaatan ketopong berpenutup muka, baju zirah berat yang menutupi sekujur tubuh, dan zirah khusus untuk kuda.[237] Bubuk mesiu dikenal di Eropa pada pertengahan abad ke-13, terbukti dari catatan sejarah yang meriwatkan pemanfaatannya dalam peperangan di Eropa, yakni dalam peperangan antara Inggris dan Skotlandia pada 1304, meskipun hanya sebagai bahan peledak, bukan sebagai obat meriam. Meriam digunakan dalam aksi-aksi pengepungan pada dasawarsa 1320-an, dan senjata api genggam digunakan pada dasawarsa 1360-an.[238]
Ilmuwan, cendekiawan, dan penjelajahan
Pada Akhir Abad Pertengahan, para teolog seperti Yohanes Duns Skotus (wafat 1308)[AG] dan Gulielmus Orang Ockham (wafat sekitar 1348),[221] memelopori aksi tanggapan terhadap skolastisisme intelektualis, dengan menentang penerapan akal budi pada iman. Pemikiran-pemikiran mereka mengetepikan gagasan "kesemestaan" menurut Idealisme Plato yang lazim dianut kala itu. Pendirian Gulielmus bahwa akal budi bekerja secara terpisah dari iman memungkinkan ilmu pengetahuan dipisahkan dari ilmu teologi dan ilmu filsafat.[304] Di bidang kajian hukum, hukum Romawi kian merambah masuk ke dalam ruang lingkup yurisprudensi yang sebelumnya dikuasai oleh hukum adat. Satu-satunya tempat yang tidak mengalami perkembangan semacam ini adalah Inggris, tempat hukum umum masih diutamakan. Negara-negara lain mengodifikasikan hukum-hukum mereka; kitab-kitab hukum diundangkan di Kastila, Polandia, dan Lituania.[305]
Pendidikan masih lebih tertuju pada pelatihan calon rohaniwan. Pendidikan dasar untuk mengenal huruf dan angka masih menjadi tanggung jawab keluarga atau imam desa, tetapi mata pelajaran sekunder trivium (trimarga, tiga cabang ilmu), yakni tata bahasa, retorika, dan logika, dipelajari di sekolah-sekolah katedral atau sekolah-sekolah pemerintah kota. Sekolah-sekolah dagang sekunder bermunculan di mana-mana, bahkan beberapa kota di Italia memiliki lebih dari satu sekolah semacam ini. Universitas-universitas juga juga didirikan di seluruh Eropa pada abad ke-14 dan ke-15. Tingkat melek aksara umat awam meningkat, tetapi masih tergolong rendah; menurut salah satu perkiraan, tingkat melek aksara mencapai 10% untuk laki-laki dan 1% untuk perempuan pada tahun 1500.[306]
Penerbitan karya-karya sastra dalam bahasa rakyat mengalami peningkatan. Pada abad ke-14, Dante Alighieri (wafat 1321), Petrarka (wafat 1374), dan Giovanni Boccaccio (wafat 1375) menghasilkan karya tulis dalam bahasa Italia, Geoffrey Chaucer (wafat 1400) dan William Langland (wafat sekitar 1386) menghasilkan karya tulis dalam bahasa Inggris, sementara François Villon (wafat 1464) dan Christine de Pizan (wafat sekitar 1430) menghasilkan karya tulis dalam bahasa Prancis. Sebagian besar karya tulis yang dihasilkan kala itu masih berupa karya-karya tulis yang bertema agama, dan meskipun sebagian besar di antaranya masih ditulis dalam bahasa Latin, mulai muncul pula permintaan untuk riwayat-riwayat orang kudus dan karya-karya tulis terkait devosi lainnya yang disusun dalam bahasa-bahasa rakyat.[305] Peningkatan permintaan untuk karya-karya tulis berbahasa rakyat ini dipicu oleh kian maraknya gerakan Devotio Moderna. Gerakan pembaharuan di bidang keagamaan ini semakin mengemuka dengan dibentuknya paguyuban Saudara-Saudara Hidup Bersama (bahasa Latin: Fratres Vitae Communis), tetapi juga menonjol dalam karya-karya tulis yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh kebatinan Jerman seperti Meister Eckhart dan Yohanes Tauler (wafat 1361).[307] Teater juga berkembang dalam bentuk pertunjukan sandiwara-sandiwara mukjizat yang digelar oleh Gereja.[305] Pada penghujung kurun waktu Akhir Abad Pertengahan, penciptaan mesin cetak sekitar tahun 1450 mendorong didirikannya balai-balai penerbitan di seluruh Eropa pada 1500.[308]
Pada awal abad ke-15, negara-negara di Jazirah Iberia mulai mendanai usaha-usaha penjelajahan di luar tapal batas Eropa. Pangeran Henrique Sang Navigator dari Portugal (wafat 1460) melepas rombongan-rombongan ekspedisi jelajah yang menemukan Kepulauan Kenari, Azores, dan Tanjung Verde pada masa hidupnya. Ekspedisi-ekspedisi jelajah masih terus berlanjut sepeninggal Pangeran Henrique; Bartolomeu Dias (wafat 1500) berhasil berlayar melewati Tanjung Harapan pada 1486, dan Vasco da Gama (wafat 1524) berlayar mengitari Benua Afrika sampai ke India pada tahun 1498.[309] Kerajaan Spanyol, hasil penggabungan Monarki Kastila dan Monarki Aragon, mendanai pelayaran jelajah di bawah pimpinan Kristoforus Kolumbus (wafat 1506) pada tahun 1492 yang akhirnya menemukan benua Amerika.[310] Kerajaan Inggris, pada masa pemerintahan Raja Henry VII, mendanai pelayaran John Cabot (wafat 1498) pada tahun 1497, yang berhasil sampai ke Pulau Tanjung Breton.[311]
Puncak Abad Pertengahan
Puncak Abad Pertengahan bermula sesudah tahun 1000 Masehi, yaitu ditandai dengan populasi Eropa yang meningkat pesat berkat munculnya inovasi-inovasi di bidang teknologi dan pertanian, yang memungkinkan berkembangnya perniagaan. Lonjakan populasi Eropa juga disebabkan oleh perubahan iklim selama periode Suhu Hangat Abad Pertengahan yang memungkinkan peningkatan hasil panen.
Ilustrasi naskah Prancis dari Abad Pertengahan yang menampilkan ketiga golongan masyarakat Abad Pertengahan: golongan yang berdoa (rohaniwan), golongan yang bertarung (kesatria), dan golongan yang bekerja (petani). Hubungan di antara ketiga golongan ini diatur menurut tatanan feodalisme dan manorialisme (Li Livres dou Sante, abad ke-13).
Ada dua tatanan kemasyarakatan yang diterapkan pada Puncak Abad Pertengahan, yakni manorialisme dan feodalisme. Manorialisme adalah penertiban rakyat jelata menjadi pemukim di desa-desa, dengan kewajiban membayar sewa lahan dan bekerja bakti bagi kaum ningrat; sementara feodalisme adalah struktur politik yang mewajibkan para kesatria dan kaum ningrat kelas bawah untuk maju berperang membela junjungan mereka sebagai ganti anugerah hak sewa atas lahan dan tanah perdikan (bahasa Inggris: manor).
Perang Salib yang mula-mula diserukan pada 1095 adalah upaya militer umat Kristen Eropa Barat untuk merebut kembali kekuasaan atas Tanah Suci dari umat Islam. Raja-raja menjadi kepala dari negara-negara bangsa yang tersentralisasi. Sistem kepemimpinan semacam ini mengurangi angka kejahatan dan kekerasan, tetapi membuat cita-cita untuk menciptakan suatu Dunia Kristen yang bersatu semakin sukar diwujudkan.
Kehidupan intelektual ditandai oleh skolastisisme, filsafat yang mengutamakan keselarasan antara iman dan akal budi, dan ditandai pula oleh pendirian universitas-universitas. Teologi Thomas Aquinas, lukisan-lukisan Giotto, puisi-puisi Dante dan Chaucer, perjalanan-perjalanan Marco Polo, dan katedral-katedral berlanggam Gothik semisal Katedral Chartres, adalah segelintir dari capaian-capaian menakjubkan pada penghujung kurun waktu Puncak Abad Pertengahan dan permulaan kurun waktu Akhir Abad Pertengahan.
Awal Abad Pertengahan
Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan-pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai “invasi”, pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran.
Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi. Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau sama sekali tidak berdarah Romawi.
Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah oleh kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Perkawinan campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi. Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.
Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi. Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan kepada tradisi-tradisi intelektual Romawi.
Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan. Saat itu, perang menjadi sesuatu yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.
Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan.
Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin, tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad.
Bahasa Yunani di sisi lain masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Bizantin, tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.
Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan.
Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Hubungan negara dan Gereja juga menjadi semakin akrab di Kekaisaran Romawi Timur, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.
Mosaik yang menampilkan gambar Kaisar Yustinianus bersama Uskup Ravena, para pengawal, dan para bentara.
Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis). Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sophia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565) untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.
Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.
Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Bizantin telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Bizantin menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim.
Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.
Penyusupan orang Slav di wilayah timur Kekaisaran Romawi secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung era 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551.
Pada era 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kekuasan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.
Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang.
Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Bizantin, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Bizantin berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.